TfMiBSz8TpMiGSWiBUO5GUriGi==
00 month 0000

Headline:

Jejak Sejarah: Meniti Resolusi Bertakwa


Oleh:
Prof. Dr. KH.M. Erfan Soebahar, M.Ag.
Ketum MUI Kota Semarang


Menjelang pergantian tahun 2025 atau memasuki babak baru dalam hidup, kita kerap disibukkan dengan membuat daftar resolusi agar menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, tak sedikit di antara kita yang akhirnya berhenti di tengah jalan karena kurangnya landasan kuat dalam mewujudkan tekad tersebut. 

Bila kita menengok lintasan sejarah umat Islam, akan terlihat bahwa ketakwaan selalu menjadi fondasi keberhasilan hidup seseorang—baik di dunia maupun akhirat. 

Perspektif historis ini penting, karena sepanjang zaman, takwa telah membentuk nilai-nilai sosial dan budaya yang menuntun manusia menuju kesempurnaan amal. Uraian di bawah ini, dicoba menelusuri titian resolusi takwa.


Melacak Akar Sejarah dan Signifikansi Takwa

Sejak masa awal Islam, ketakwaan telah menjadi penanda keunggulan. Dalam surah Al-Hujurat ayat 13, Allah menegaskan, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” 

Pernyataan ini tidak semata membentuk identitas keagamaan, tetapi juga membimbing umat Islam agar menjadikan kesadaran Ilahi sebagai pendorong utama setiap perbuatan. Secara sosiologis, komunitas Muslim pertama yang dibina Rasulullah saw menunjukkan bagaimana prinsip ketakwaan berhasil menembus sekat-sekat kesukuan, membentuk solidaritas sosial yang kokoh, dan melahirkan tatanan masyarakat yang adil.

Dalam rangka merumuskan resolusi dan target, kita perlu memahami bahwa Islam tidak memisahkan ambisi duniawi dari kepentingan akhirat. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Artinya, aktivitas yang tampak duniawi sekalipun bisa bernilai ibadah, selama diniatkan demi mencari keridaan Allah. Perspektif inilah yang mesti menuntun kita dalam menyusun resolusi.


Tiga Pilar Sosio-Religius dalam Merumuskan Resolusi

1. Memurnikan Niat demi Keseimbangan Dunia-Akhirat

Dari masa ke masa, para pemikir dan pemimpin Muslim menekankan pentingnya merangkai tujuan hidup yang tidak semata mengejar manfaat materiil. Melalui hadits Rasulullah ï·º, “Barang siapa menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan mencukupi urusan dunianya,” (HR. Ibnu Majah), kita diingatkan bahwa keseimbangan antara niat akhirat dan ikhtiar duniawi akan melahirkan etos kerja yang ikhlas. Saat resolusi kita selaras dengan nilai-nilai ketakwaan, keinginan untuk berkontribusi secara positif kepada masyarakat pun tumbuh lebih kuat.

2. Mengoptimalkan Usaha di Atas Landasan Ketakwaan

Berbagai kisah kegemilangan peradaban Islam di era Bani Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah menunjukkan betapa kerja keras selalu didampingi oleh dorongan spiritual yang tinggi. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (berjuang) di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut: 69). Bagi para ilmuwan Muslim klasik seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, atau Al-Jazari, penelitian ilmiah mereka berakar pada hasrat untuk menyingkap keagungan ciptaan Allah. Upaya yang maksimal, dengan keyakinan bahwa ilmu adalah salah satu wasilah mendekatkan diri pada-Nya, membuahkan pencapaian monumental yang diakui dunia.

3. Tawakal Total sebagai Sumber Ketentraman

Meski manusia diwajibkan berusaha, hasil akhir sepenuhnya adalah domain Allah. Rasulullahsaw bersabda, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana burung yang pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. at-Tirmidzi). 

Prinsip tawakal inilah yang membuat banyak tokoh Muslim terdahulu tidak gentar menghadapi tantangan zaman. Mereka merancang tujuan, berupaya maksimal, dan menyerahkan semuanya kepada Kehendak Ilahi. 

Sikap demikian memelihara stabilitas emosi dan memberi kekuatan menghadapi berbagai ketidakpastian.


Kisah-Kisah Teladan: Ketakwaan yang Menggetarkan Sejarah

1. Nabi Ibrahim a.s. dan Gagasan “Generasi Bertauhid”

Nabi Ibrahim a.s. menjadi sosok revolusioner yang menumbuhkan peradaban bertauhid. Tekadnya tercermin dalam doa beliau, “Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang mendirikan shalat.” (QS. Ibrahim: 40). 

Dari sudut pandang sosiologis, keinginan tersebut membentuk basis masyarakat berketuhanan yang kelak melahirkan banyak nabi dan meneruskan ajaran tauhid hingga ke generasi kita sekarang. 

Kesuksesan Nabi Ibrahim a.s. membangun umat bukanlah hasil instant, melainkan perpaduan antara doa, usaha dakwah, dan penyerahan total kepada Allah.

2. Umar bin Abdul Aziz: Pemimpin Visioner Berbasis Ketakwaan

Sejarah Islam mencatat era Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai puncak keadilan dan kesejahteraan sosial. Singkatnya masa kepemimpinan beliau—hanya sekitar dua tahun—justru menghasilkan transformasi besar. Hampir tak ditemukan lagi orang yang berhak menerima zakat karena segenap kebutuhan telah terpenuhi. Dengan landasan ketakwaan, masyarakat saat itu merasakan kemakmuran merata. Pengalaman ini menjadi contoh sosio-historis bahwa kebijakan politik dan ekonomi yang berpijak pada nilai ruhani mampu membangun masyarakat adil dan makmur.

3. Pengusaha Muslim di Era Modern: Menyeimbangkan Bisnis dan Ibadah

Pada zaman kontemporer, kita dapat menemukan berbagai pengusaha Muslim yang menempatkan shalat sebagai prioritas. Meskipun ramai pembeli, toko mereka akan tetap ditutup kala masuk waktu shalat berjamaah. Dari sudut pandang sosial, kebiasaan ini berkontribusi pada pembentukan kultur religius di lingkungannya. Tak jarang, pelanggan turut merasakan keberkahan usaha yang mengutamakan Allah—mulai dari relasi bisnis yang lancar hingga loyalitas pelanggan yang tak terduga.


Meneguhkan Tekad, Menanam Benih Ketakwaan

Menutup satu tahun dan memulai tahun berikutnya berarti membuka lembaran baru yang tidak sekadar berisi daftar keinginan, tetapi juga komitmen untuk mengasah kemajuan spiritual. Resolusi yang ditanam di lahan ketakwaan lebih kokoh menghadapi godaan dan tantangan. Sejarah Islam membuktikan, individu dan masyarakat yang menegakkan takwa akan merasakan limpahan rahmat serta kemajuan dari sisi sosial, ekonomi, hingga peradaban.

Dengan memurnikan niat, mengoptimalkan usaha, dan bertawakal sepenuhnya pada Allah, kita akan menemukan bahwa target materiil maupun rohani dapat tercapai secara seimbang. Allah mengingatkan dalam QS. Al-Baqarah: 282, “Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkan kepadamu.” Kala hati dipenuhi kesadaran ilahi, kita pun menjadi pribadi yang lebih peka terhadap keadilan, kebaikan, serta semangat untuk berbuat lebih banyak bagi sesama.

Akhirnya, semoga resolusi baru yang kita rumuskan senantiasa berada di bawah naungan petunjuk Allah Swt, hingga setiap langkah terasa ringan dan hidup pun kian bermakna. Amin (KHM. Erfan Soebahar, Semarang, 15 Januari 2025).


Daftar Isi

0Komentar

Formulir
Tautan berhasil disalin